Saat kubuka seluruh penutup aura, tak perlu
sungkan, katakan!
Dimana cacat celaku?
Meski agak janggal karena berbeda dengan
lazimnya, tapi sungguh aku tidak pura-pura,
apalagi bersandiwara.
Apa yang terbaca itulah suara jiwa.
Tak ada isyarat rahasia tersembunyi disana,
bacalah yang tersurat, ejalah dengan hati yang
tersirat.
Pakailah kacamata sanubari.
Itulah seni, kata bersayap puisi.
Bila teliti : ia menyentuh hingga dasar hati.
Bila seadanya : ia mengambang di udara.
Apa yang terbaca itulah suara jiwa.
Apa yang tersirat, itulah kebenaran hakiki, suara
hati.
Tembangku sederhana, apa adanya, tak ada tilik
sandi apalagi senjata rahasia, disana bila ada yang
terluka, tak ada niat menyayatkan duka, tapi
terimalah permohonan maafku atas alfa atau
sengaja karena aku masih seorang bayi yang
belajar berdiri, mencoba berjalan bertatah titih,
jatuh dan bangun lagi pasti langkahku goyah,
kakiku kerap kesandung, bahkan membuat porak
poranda tatanan etika.
Sungguh, apa yang terbaca itulah suara jiwa.